BOHONG !! kalau ada orang bilang cinta tapi tidak mau berkorban. Lidahnya mengucapkan cinta namun hatinya eman kehilangan sesuatu buat cintanya. Inginnya cuma yang enak-enak saja. Setelah mendapatkan kenikmatan bagai pisang lupa kulitnya. Memang begitulah manusia. Dari zaman Mbah Gadjah Mada sampai zaman SBY makin banyak saja yang terkena penyakit yang satu ini, moh kelangan bin eman-eman. Eman-eman kehilangan jabatan, eman-eman kehilangan uang, harta benda, rumah, sawah, ternak, pokoknya semua yang berbau duniawi. Eksistensi dan wujud dari sebuah cinta adalah pengorbanan. Seberapa banyak hal yang ia korbankan, makin tinggi pula kadar cintanya.
Berbicara masalah pengorbanan, tentu kita semua telah mengetahui icon manusia yang satu ini. Penuh totalitas dalam membuktikan rasa cinta dan penghambaan kepada Allah SWT. Tidak pilah-pilih dalam menjalankan semua yang diperintahkan kepadanya sampai pun anak semata wayang yang amat ia cintai pun rela ia korbankan demi rasa cintanya kepada Allah SWT. Inilah bukti dari cintanya tersebut. Ya, dialah Ibrahim as. Sosok yang begitu mulia di hadapan seluruh penghuni kolong langit dan bumi. Kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah telah menjadikannya sebagai khalilullah (kekasih Allah). Tercatat bahwa ia tampil sebagai pemeran utama dalam dua ibadah sekaligus di hari raya Idul Adha, yakni haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran Nabi Ibrahim as tidak bisa dilepaskan darinya. Sebagaimana firman-Nya. Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): ”Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orng-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Al-Hajj) : 26-27)
Dengan lantunan takbir, tahlil dan tahmid.....
Kini ummat Islam di belahan dunia terutama di Tanah Suci menyempurnakan rangkaian ibadah rukun Islam ke-5. Subhanallah, begitu mengharukan bagi mereka yang menjalani ibadah di Mekkah..
Suara lantunan tersebut mengajak kita sejenak melakukan refleksi diri, bahwa tiada yang agung, dan tiada yang layak disembah kecuali Allah SWT, Tuhan Semesta alam.. Pada hari yang sama hingga 11,12 dan 13 Zulhijah (hari tasyrik), bagi kaum muslimin yang berkemampuan finansial dianjurkan menyembelih bianatang kurban. Anjuran ini bermula dari kisah Nabi Ibrahim AS, yang diperintahkan Allah untuk menyembelih putranya Nabi Isma'il AS.
Padahal Nabi Ibrahim AS yang menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun, setelah mendapatkan keturunan yang diidamkan, ternyata diuji untuk disembelih. Beliau dituntut memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati, tidak mengindahkan perintah-Nya.
Pilihan yang cukup dilematis memang. Atas dasar ketakwaan yang kuat, perintah Tuhan pun dilaksanakan. Namun demikian, Ismail AS tidak jadi disembelih karena digantikan seekor domba. Peristiwa yang mengharukan itu, diabadikan Allah SWT dalam Alquran Surat As Shaffat ayat 102-109.
Kisah yang bertabur hikmah itu, jadi potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Ibrahim terhadap putra kesayangannya, tidak menghalangi ketaatan kepada Allah SWT.
Perlawanan terhadap nafsu itu, jelas dalam peristiwa kurban yang semula diperintahkan kepada dua anak manusia (Ibrahim dan Ismail). Itu pula yang mendasari umat Muhammad, kenapa sangat dianjurkan melaksanakan penyembelihan hewan kurban, setiap tahun bagi yang berkemampuan segi finansial.
Bukankah ritual dalam Islam mengandung unsur, antara lain hubungan vertikal kepada sang Khaliq dan secara horisontal kepada sesama makhluk. Kepada Allah sebagai pengabdian, yaitu taat dan takwa serta mensyukuri nikmat yang diberikan. Sedangkan kepada sesama makhluk, solidaritas terhadap kaum dhuafa (lemah).
Semangat Idul Adha, sebenarnya memberi pelajaran yang patut diteladani. Misalnya, perintah menyembelih Ismail pada akhirnya digantikan seekor domba. Tersirat dari adegan ini, ajaran Islam begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban mengandung dua nilai, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual, melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat imani. Sedangkan kesalehan sosial, selain ritual keagamaan juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
Dimensi kemanusiaan itu tampak jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu, menunjukkan Islam adalah agama yang respek terhadap fakir miskin dan kaum dhuafa lainnya.
Belajar dari pengurbanan Nabi Ibrahim AS terhadap putranya Nabi Ismail AS, kemudian disyariatkan kepada umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Begitu mengagumkan, keimanan seorang Ibrahim diuji dengan perintah untuk menyembelih putranya sendiri. Dan ia berhasil melewati ujian keimanan itu. Keyakinan akan perintah Allah membuat hatinya kuat mengorbankan anaknya sendiri. Begitu juga Ismail, orang tua mana yang tidak terharu mendengar jawaban seorang anak yang begitu santun dan ringan menjalankan perintah Allah yang begitu beratnya. Pastaslah jika Al Quran menyebutnya denganghulamun halim. Beginilah seharusnya sikap seorang mukmin ketika mendengar perintah Allah SWT, tanpa komentar dan pilah-pilih. Jika perintah itu datang dari Allah, maka sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami menaati. Nabi Ibrahim menyadari akan hal itu. Apapun yang ia cintai meskipun hal itu adalah anaknya sendiri, dengan penuh keyakinan ia korbankan manakala Allah menghendaki. Begitulah, pengorbanan menjadi harga mati bagi iman. Di mana geliat iman akan terlihat pada seberapa besar pengorbanan kita, seberapa banyak kita memberi, seberapa banyak keringat kita menetes, dan puncak dari segalanya adalah dimana kita menyerahkan harta dan jiwa sebagai persembahan total kepada Allah SWT. Ismail hanyalah simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Ismailnya Nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lalu siapakah Ismail kita ? Bisa jadi diri kita sendiri, anak dan istri kita, harta, atau pangkat dan jabatan kita.
Inilah pelajaran yang sangat berharga bagi semua umat manusia. Namun berapa banyak dari mereka yang berhasil mendulang emas darinya. Dengan semangat meneladani kisah sarat pengorbanan dari Nabi Ibrahim dan Ismail, marilah kita menatap Idul Adha yang sebentar lagi akan tiba dengan penuh semangat. Semangat untuk berqurban dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.Jangan sampai hal ini malah menjadi momok yang senantiasa menghantui saku-saku kantong kita.Namun kita jadikan hari raya Idul Adha sebagai ladang beramal, ladang berkorban, dan ladang menempa iman kita.
Sudah seharusnya menangkap esensi pesan teks, semangat untuk terus berkurban senantiasa dilanggengkan setelah Iduladha. Sebab, sering dijumpai, muslimin hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi kesalehan sosial.
Mari jadikan Idulkurban sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Selamat Idul Adha 1431 H. ^_^
Selamat Idul Adha 1431 H (background Masjid Pink,kualalumpur,malaysia) |
0 komentar:
Posting Komentar